Minggu, 21 Juni 2020

Tumbuhan Pakis Hutan?Pohon Paku Sukha dalam Adat Lampung

Paku Sukha/Paku Sakha
...
Paku dalam bahasa Lampung berarti pakis, Paku Sakha atau Paku Sukha adalah sebutan untuk pakis hutan atau pakis pohon. Tumbuhan pakis hutan atau pakis kayu yang bisa tumbuh tinggi menjulang, habitatnya biasanya di hutan-hutan ini banyak juga tersebar di tanah Lampung.
Klasifikasi Ilmiah:
Paku pohon Cyathea
Kategori ilmiah
Kerajaan:    Plantae
Divisi:    Pteridophyta
Kelas:    Pteridopsida
Ordo:    Cyatheales
Famili:    Cyatheaceae

Di daerah Lampung, tanaman pakis ini tidak hanya sekedar tumbuhan, paku sukha menjadi sebuah motif yang ada pada berbagai macam benda-benda budaya yang ada di Lampung, termasuk menjadi lambang bagi Paksi Pak Sekala Bekhak kepaksian Belunguh, sudut-sudur ujung rumah panggung khas Lampung terutama Lamban Pesagi, bahkan juga kemungkinan mengilhami bentuk dari Siger Lampung serta ornamen-ornamen lainnya. Ada juga istilah Pandia Pakusakha sebagai salah satu unsur Ke-Saibatinan.

Berikut adalah beberapa benda-benda yang diperkirakan terilhami dari bentuk pakis:

1.
Lamban Pesagi


Lamban Pesagi merupakan salah satu rumah adat Lampung. Rumah adat ini mendapatkan penetapan sebagai situs rumah tradisional berdasarkan Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 1992, Nomor Inventaris: 397.04.06.05 Tahun 1992, oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang. Tahun 2014, rumah ini resmi ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda kategori Arsitektur Tradisional oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Kata Lamban berarti rumah dan Pesagi berarti persegi, karena denahnya berbentuk segi empat. Rumah ini berasal dari Desa Kenali, Kecamatan Belalau, daerah Gunung Pesagi di Lampung Barat yang bersuhu dingin. Lokasi tersebut mempengaruhi gaya arsitektur Lamban Pesagi yang tertutup atau tidak ditemui serambi terbuka di bagian depan. Untuk bangunan Lamban Pesagi menurut Herry Wiryono, peneliti BPNB Jawa Barat, merupakan rumah tradisional berbentuk panggung yang sebagian besar terdiri dari bahan kayu dan atap ijuk.


Atap perisainya memiliki teritis panjang berbentuk pelana. Teritis berupa kanopi pada pintu masuk utama disangga konsol miring yang panjangnya sampai ke lantai rumah. Terdapat tangga dari papan yang dilengkapi dengan railing sederhana. Struktur panggung terputus dengan struktur dinding rumah.

Posisi dinding lebih menjorok keluar sedikit dan ditopang balok-balok atas struktur panggung. Dinding rumah cenderung tertutup dan hanya memiliki sedikit bukaan berupa jendela. Tiang-tiang panggung diletakkan pada pondasi umpak yang berbentuk segi empat. Kolong rumah panggung digunakan untuk kandang atau gudang.
Lamban Pesagi dibangun berdasarkan kearifan setempat yang menyesuaikan dengan kondisi geografis daerah tersebut. Rumah panggung ini terdiri dari banyak unsur, antara lain Tihang duduk, Bah lamban, Atung, Uwongan, Kakakh, dan Bujokh.

Satu hal yang menarik dari Lamban Pesagi di Kenali ini adalah adanya relief ukir pada ujung-ujung rumah panggung tersebut, relief ukir tersebut dinamakan Paku Sukha, relief ini terinspirasi dari lengkung pakis hutan yang masyarakat Lampung menyebutnya paku sukha. Tidak heran adanya motif paku sukha di lamban pesagi Kenali ini, karena Kenali masuk dalam wilayah Kepaksian Belunguh (Paksi Pak Sekala Bekhak) dimana lambang dari kepaksian ini juga adalah Pakis Hutan (Paku Sukha di Lom Lungub). Selain terdapat pada Lamban Pesagi, motif Paku Sukha juga terdapat di Gedung Dalom Kepaksian Pernong. Ini adalah salah satu bukti dimana tumbuhan Pakis Hutan (Paku Sukha ini begitu bermakna bagi masyarakat Lampung).

2. Suwal/Suwal Kikha/Gaharu


Suwal Kikha/Gaharu adalah benda sejenis sirkam khas Lampung. Suwal dalam bahasa Lampung berarti sisir, dan gaharu adalah nama dari salah satu jenis kayu yaitu kayu gaharu, sebuah kayu yang memiliki aroma yang harum. Benda ini ada yang terbuat dari logam dan ada yang terbuat dari kayu (khususnya kayu gaharu). Benda ini dipakai oleh wanita yang dipasangkan dengan cara diselipkan diantara kepala bagian belakang dan sanggul. Dalam masyarakat Lampung Pesisir Suwal Kikha juga menjadi salah satu bagian dari perlengkapan Siger Lampung Pesisir. Saat tidak memakai siger (Kelabai Sigokh/Induk Siger) maka Suwal Kikha dipasangkan dengan cara ukiran menghadap ke depan, namun saat memakai Induk Siger maka ukiran Suwal Kikha dihadapkan ke belakang.

...
Beberapa suwal dan gaharu seperti pada gambar-gambar di atas memiliki ukiran yang terinspirasi dari tumbuhan pakis hutan, atau masyarakat Lampung menyebutnya Paku Sukha/Paku Sakha terutama terinspirasi dari bagian lengkung pelepah dan daun pakis mudanya. Tumbuhan Paku Sukha ini memang banyak tumbuh di hutan-hutan di daerah Lampung, dan menjadi pola ukir dan motif khas di berbagai benda-benda adat yang ada di Lampung. Hal ini menggambarkan vegetasi alam Lampung, terutama di daerah Seminung-Ranau-Pesagi yang dahulunya konon sebagai wilayah Sekala Bekhak Kuno.

View this post on Instagram

[Suwal/Suwal Kikha/Gaharu] Suwal Kikha/Gaharu adalah benda sejenis sirkam khas Lampung. Suwal dalam bahasa Lampung berarti sisir, dan gaharu adalah nama dari salah satu jenis kayu yaitu kayu gaharu, sebuah kayu yang memiliki aroma yang harum dan kuat/keras. Benda ini ada yang terbuat dari logam (perak/kuningan/tembaga/emas), gading, tanduk (kerbau) dan ada yang terbuat dari kayu. Ada yang diwarnai dengan pewarna dan diberi sisipan manik-manik kaca. Beberapa suwal dan gaharu seperti pada gambar-gambar di atas memiliki ukiran yang terinspirasi dari lengkung tumbuhan pakis hutan (Paku Sukha/Paku Sakha) muda/pucuknya, ada juga yang berbentuk seperti ular dan burung. ... Benda ini dipakai oleh wanita baik anak-anak, gadis, maupun orang tua pada saat upacara adat Lampung. Suwal ini dipasangkan dengan cara diselipkan diantara kepala bagian belakang dan sanggul. Dalam masyarakat Lampung Pesisir Suwal Kikha juga menjadi salah satu bagian dari perlengkapan Siger Lampung Pesisir. Saat tidak memakai siger (Kelabai Sigokh/Induk Siger) maka Suwal Kikha dipasangkan dengan cara ukiran menghadap ke depan, namun saat memakai Induk Siger maka ukiran Suwal Kikha dihadapkan ke belakang. ... Untuk bahasan lain mengenai suwal dan motif paku sukha bisa dilihat di instastory adat Lampung. ... Sumber foto: KF Comb Research Project

A post shared by Batas Lampung (@adat_lampung) on

Suwal Kikha/Gaharu adalah benda sejenis sirkam khas Lampung. Suwal dalam bahasa Lampung berarti sisir, dan gaharu adalah nama dari salah satu jenis kayu yaitu kayu gaharu, sebuah kayu yang memiliki aroma yang harum dan kuat/keras. Benda ini ada yang terbuat dari logam (perak/kuningan/tembaga/emas), gading, tanduk (kerbau) dan ada yang terbuat dari kayu. Ada yang diwarnai dengan pewarna dan diberi sisipan manik-manik kaca. Beberapa suwal dan gaharu seperti pada gambar-gambar di atas memiliki ukiran yang terinspirasi dari lengkung tumbuhan pakis hutan (Paku Sukha/Paku Sakha) muda/pucuknya, ada juga yang berbentuk seperti ular dan burung.

...
Benda ini dipakai oleh wanita baik anak-anak, gadis, maupun orang tua pada saat upacara adat Lampung. Suwal ini dipasangkan dengan cara diselipkan diantara kepala bagian belakang dan sanggul. Dalam masyarakat Lampung Pesisir Suwal Kikha juga menjadi salah satu bagian dari perlengkapan Siger Lampung Pesisir. Saat tidak memakai siger (Kelabai Sigokh/Induk Siger) maka Suwal Kikha dipasangkan dengan cara ukiran menghadap ke depan, namun saat memakai Induk Siger maka ukiran Suwal Kikha dihadapkan ke belakang.

nah itu dia beberapa benda adat Lampung yang terilhami dari tumbuhan pakis hutan. semoga bermanfaat.

Burung Rangkong/Enggang dalam Adat Lampung

Burung Rangkong atau Enggang adalah salah satu hewan yang dilindungi karena sudah mulai terancam punah akibat perburuan dan berkurangnya hutan sebagai habitatnya.
Rangkong atau enggang dalam bahasa Lampung disebut Kuk Sengang/Senggekhak/Sang gekhak/jungguk. Di Indonesia kita mengenal suku Dayak yang sangat mengagungkan burung enggang ini. Namun bukan hanya Suku Dayak, bahkan suku Lampung pun mensakralkan burung ini, terlihat dari beberapa sarana adat yang digunakan berupa ukiran atau pahatan berbentuk burung enggang. Habitatnya berada di atas pohon yang besar dan tinggi dianggap luhur dan agung, sehingga pada masyarakat Lampung, rangkong memiliki nilai budaya yang melambangkan keagungan dan kepemimpinan luhur bagi masyarakat suku Lampung. Selain itu dalam budaya Asia Tenggara, Motif burung yang sering dipakai dalam upacara-upacara tradisional, sering dikaitkan dengan siklus hidup, sebagai simbol utama transisi menuju derajat yang lebih tinggi dan baik. Ini sering dianggap mewakili alam atas para dewa dan leluhur yang didewakan.
...
Terdapat 54 jenis burung rangkong di seluruh dunia (Kemp, 1995). Persebaran rangkong meliputi daerah sub-sahara Afrika, India, Asia Tenggara, Papua Nugini dan Kepulauan Solomon. Terdapat 13 jenis burung rangkong yang tersebar luas di Indonesia dan tiga diantaranya merupakan jenis burung endemik.
...
Persebaran rangkong/enggang di Indonesia:
1. Pulau Sumatera 9 jenis,
2. Pulau Kalimantan 8 jenis,
3. Pulau Jawa 3 jenis,
4. Pulau Sulawesi 2 jenis (endemik),
5. Pulau Papua 1 jenis,
6. Pulau Sumba 1 jenis (endemik).
...
Daerah Sumatera dan khususnya Provinsi Lampung terdapat  9 jenis rangkong (lihat gambar) yaitu:
1. Enggang Gading (Buceros vigil)
2. Julang Jambul Hitam (Aceros corrugatus)
3. Julang Emas (Aceros undulatus)
4. Enggang Papan (Buceros bicornis)
5. Rangkong Badak/Cula (Buceros rhinoceros)
6. Enggang Jambul (Aceros comatus)
7. Enggang Klihingan (Anorrhinus galeritus)
8. Kangkareng Perut Putih (Anthracoceros albirostris)
9. Kangkareng Hitam (Anthracoceros malayanus).

Untuk gambar-gambar dari jenis-jenis rangkong di atas bisa dilihat pada postingan akun instagram adat Lampung berikut ini:


Keberadaan enggang/rangkong di Lampung diantaranya:
-Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS)
-Taman Nasional Way Kambas (TNWK)
-Tambling Wildlife Nature Conservation (TWNC)
-Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rachman
-Pegunungan (Tanggamus, Pesawaran, Betung, Rajabasa)
-Kawasan-kawasan hutan register di Lampung
-Daerah-daerah yang masih berhutan lebat

Berikut ini adalah beberapa benda-benda adat Lampung yang diidentifikasikan berbentuk burung rangkong/enggang:

1.
Kepala Rato/Rata

Gambar di atas adalah gambar Kepala Rato/Rata berasal dari Lampung Pepadun (Khususnya Abung Siwo Mego) dari abad ke-19. Bahan dari kayu & dibuat dengan Teknik pahatan, sebagai benda upacara adat, dimensi 114,0 h x 24,0 w x 45,0 d cm. Keterangannya dibeli pada tahun 1984, dan kini keberadaannya di National Gallery of Australia. Kepala Rato ini berbentuk kepala burung rangkong yang unik. Rato/Rata sediri secara tradisional adalah sebuah kereta kayu yang digunakan sebagai kendaraan pengangkut para bangsawan (dalam hal ini adalah keluarga para Penyimbang Pepadun khususnya persekutuan adat Abung Siwo Mego) ketika upacara-upacara adat dilakukan seperti khitanan, pernikahan, naik tahta dan sebagainya. Dalam budaya Asia Tenggara, Motif burung yang banyak digunakan dalam upacara-upacara adat yang dikaitkan dengan siklus hidup menunjukkan perannya yang penting sebagai simbol utama transisi (siklus daur hidup). Ini sering mewakili alam atas para dewa dan leluhur yang didewakan. burung adalah simbol perubahan yang terkait dengan dunia atas dewa leluhur. Rangkong sering dilihat sebagai pembawa pesan kepada leluhur dan tokoh supernatural lainnya. Kepala rangkong ini, dengan bentuk dan paruh melengkung, dirancang untuk kendaraan seperti itu. Kepala burung enggang besar yang mengesankan ini akan dipasang di bagian depan kereta kendaraan. Permukaannya dihiasi dengan motif kuno, seperti kait dan spiral ganda berbentuk hati. Saat ini Rato/Rata banyak digantikan dengan kendaraan bermesin roda empat yang dihias secara adat dan diletakkan burung garuda/naga/gajah/macan dan hewan lainnya yang dianggap sakral.

2. Balo-Balo


Balo-Balo adalah sebuah patung berbentuk makhluk mitos yaitu makhluk berbadan manusia namun berkepala burung enggang/rangkong (dalam bahasa Lampung disebut burung Kuk Sengang/Senggekhak/Sang gekhak). Makhluk ini dalam keadaan duduk/jongkok dan terdapat dua ekor binatang yang menyerupai entah itu tokek/cicak/iguana/kadal/bunglon? pada bagian tubuh depan makhluk mitos ini, dengan kepala yang satu mengarah ke bawah dan satunya ke atas (lihat slide 4). Ukiran dari balo-balo ini begitu detail dan unik, umumnya terbuat dari kayu atau batu, namun saat ini ada juga yang terbuat dari semen.
...
Patung ini biasanya diletakkan di kiri kanan bagian depan gerbang, samping kiri kanan tangga, atau samping kiri kanan pintu masuk. Tidak hanya sebagai benda estetika saja, balo-balo ini dahulu dipercaya sebagai makhluk mitos yang menjaga sebuah bangunan, seperti rumah adat atau balai adat. Selain balo-balo makhluk rangkong ini, ada jenis patung lain yang biasa diletakkan dekat pintu seperti patung gajah, macan, dan naga.

3. Keris/Punduk/Tekhapang Balo-Balo


Tekhapang/Punduk adalah sebutan untuk keris sebagai salah satu senjata adat masyarakat Lampung. Sedangkan Balo-Balo adalah sebuah patung berbentuk makhluk mitos yaitu makhluk berbadan manusia namun berkepala burung enggang/rangkong. Salah satu jenis keris yang ada di Lampung adalah Tekhapang/punduk balo-balo, yaitu keris yang memiliki hulu/gagang berbentuk balo-balo (makhluk mitos berbentuk enggang/rangkong). Ukiran dari balo-balo ini begitu detail dan unik, hulu/gagang ini umumnya terbuat dari logam, kayu ataupun gading/tanduk binatang. Tidak hanya sebagai benda estetika saja, tekhapang/punduk balo-balo ini adalah sebagai senjata pelindung baik secara fisik maupun spiritual bagi sipemakai/sipembawanya (dalam hal ini rata-rata adalah kaum bangsawan Lampung), mengingat balo-balo kemungkinan dahulu di Lampung dipercaya sebagai makhluk mitos pelindung/penjaga.

Kain Sangai Limar khas Lampung Pesisir (Saibatin)

[Sangai Limar]
Sangai Limar adalah salah satu kain khas Lampung Pesisir yang biasa digunakan sebagai kerudung atau selendang para wanita untuk menutupi bahu (kakumbut) dalam masyarakat adat Lampung Pesisir, yang paling banyak memakai ini biasanya adalah para ibu-ibu saat ada upacara adat.


Kain ini berasal dari abad ke-19 atau tahun 1800-an, tempat pembuatan berasal dari Desa Putih Doh, Cukuh Balak, Tanggamus, Lampung, Sumatra, Indonesia (keadatan Lampung Pesisir/Saibatin Bandakh Putih, Bandakh Lima Cukuh Balak/Pesisir Pemanggilan). Bahannya terbuat dari sutra, benang perak, dan tambahan pakan tenun. Teknik pembuatannya adalah tenun ikat pakan, dimensi ukuran panjang 216 Cm dan lebar 60 Cm.



Kain ini berasal dari abad ke-19 atau tahun 1800-an, tempat pembuatan berasal dari Desa Putih Doh, Cukuh Balak, Tanggamus, Lampung, Sumatra, Indonesia (keadatan Lampung Pesisir/Saibatin Bandakh Putih, Bandakh Lima Cukuh Balak/Pesisir Pemanggilan). Bahannya terbuat dari sutra, benang perak, tambahan pakan tenun, dan renda gelendong. Teknik pembuatannya adalah tenun ikat pakan, dimensi ukuran panjang 193 Cm dan lebar 76 Cm.

Sangai Limar ini kini berada di National Gallery of Australia. Pengakuan Didapat melalui hadiah dan pembelian dari Koleksi Robert J Holmgren dan Anita E Spertus, New York 2000.
Sumber: National Gallery of Australia.